Kamis, 10 September 2009

Penuturan Erwin W., Pilot Nomad TNI-AL yang Selamat

[ Kamis, 10 September 2009 ]
Tolak Saran Mendarat di Sungai, Takut Dimangsa Buaya

Tidak perlu mencari kotak hitam untuk mengungkapkan jatuhnya pesawat Nomad TNI-AL di tambak Desa Mentadau, Kecamatan Sekatak Bengara, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Sang pilot Letnan Satu (P) Erwin Wahyuwono selamat dan banyak yang bisa dia jelaskan.

---

SAMPAI kemarin Erwin masih tergolek lemah di RSAL Ilyas Tarakan dengan jarum infus menancap di lengan. "Agak baikan, meski kadang masih agak pusing," katanya kepada Radar Tarakan (Jawa Pos Group) kemarin (9/9).

Ranjangnya bersebelahan dengan kopilotnya, Lettu Syaiful. Karena kondisinya lebih baik, Syaiful sedang berjalan-jalan ke luar kamar.

Dengan perlahan, alumnus Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug 1999 itu menceritakan detik-detik jatuhnya pesawat intai maritim TNI-AL tipe (N22) Nomad P 837 Senin lalu (7 /9). ''Mesin kanan mendadak mati, saat pesawat berada di ketinggian 450 feet," kata Erwin.

Karena jarak ke Bandara Juwata sudah dekat, dia memutuskan tetap menerbangkan pesawat tersebut. "Hanya sekitar 23 mil," sebutnya.

Namun, dia harus berpikir ulang ketika mesin sebelah kiri menyusul mati. Kerusakan beruntun itu hanya berselang 30 detik. ''Power-nya langsung drop. Seperti mobil mogok. Meski pedal gas ditekan, tidak ada tenaga sama sekali,'' tutur pria kelahiran Kudus, 10 April 1977.

Dalam situasi seperti itu, keputusan cepat harus segera dibuat. Komunikasi dengan menara Bandara Juwata pun terus dilakukan. Tidak ada pilihan, pesawat harus mendarat darurat.

Erwin sempat berputar-putar untuk mencari lokasi aman. Syaiful menyarankan pendaratan darurat di sungai, seperti yang dilakukan Abdul Rozaq, pilot Boeing 737-300 milik maskapai Garuda Indonesia di Bengawan Solo, 12 Januari 2002.

Namun, Erwin mengabaikan saran tersebut dengan pertimbangan karakteristik sungai di Kalimantan berbeda dengan di Jawa. Sungai di Kalimantan berarus lebih deras dan dihuni banyak buaya. ''Kalau mendarat di sungai, bisa mati dimangsa,'' kata pilot yang memiliki 1.600 jam terbang dengan Nomad tersebut.

Dia lantas memutuskan mendarat di tambak. Hal itu terpaksa dilakukan meski berisiko menabrak tanggul pembatas tambak. Dan, risiko itu akhirnya benar-benar terjadi. Meski pendaratannya mulus, pesawat baru terhenti setelah menabrak tanggul tambak. "Kepala saya terbentur kokpit dan terluka parah. Darah muncrat dari dahi yang sudah kelihatan tulang tengkoraknya,'' katanya.

Dalam kondisi berdarah, Erwin kemudian berusaha menyelamatkan diri dengan menjauhi pesawat yang dipilotinya. Dia berhasil keluar dari ruang kokpit, kemudian berjalan di tambak menuju tanggul.

Saat itulah dia melihat seorang penumpang terapung di permukaan air tambak. Kedalaman air tambak saat itu mencapai pusar orang dewasa.

Sementara Saiful, yang ada di sampingnya dalam kondisi lemah dan tampak shock. Bahkan, setelah Erwin meninggalkan pesawat menuju ke tanggul, Saiful masih tampak trauma.

Setelah keluar dari pesawat, dia bukan menghindar dari bangkai pesawat malah mengelilingi pesawat. "Saya teriaki dia untuk menjauh dari bangkai pesawat karena khawatir meledak," kata Erwin yang sudah dua minggu bertugas menerbangkan Normad untuk melakukan patroli rutin di perbatasan di Kaltim.

Di tanggul tambak dia bertemu tiga warga yang segera menolongnya. Dalam kondisi darah tersebut keluar, Erwin berusaha tidak pingsan. ''Klau sampai pingsan, bisa nggak bangun lagi. Saya mencubit-cubit paha saya sendiri," ujar Erwin.

Dia bersyukur masih hidup. Apalagi, setelah melihat di tayangan televisi, pesawat yang dipilotinya itu sudah hancur. (ris/ian/*/rt2/jpnn/ruk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar